Tayang : Rabu, 31 Agustus 2005, Pukul 12:00 WIB
Reporter : Ninok Hariyani
Cameraman : Heri gemita
indosiar.com, Bantul - Suara derit kayu saling bergesek, sesekali ditingkah suara lenguhan sapi, nyaris setiap hari terdengar dari sebuah bangunan pabrik, di tepi Sungai Progo, yang melintasi Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta.
Hampir seluruhnya terbuat dari kayu tepeng dan membutuhkan sedikitnya 8 tenaga manusia untuk menggerakkannya. Masing-masing mendapat pembagian tugas yang jelas.
Ada yang bertugas sebagai penginjak balok kayu berdiameter 40 cm, disebut munyuk karena gerakannya yang mirip seekor monyet berayun.
Selama itu, warga yang dulu menjadi pekerja di pabrik ini beralih menjadi penambang pasir dan batu di Kali Progo.
Agak sulit mencari tenaga kerja terutama tenaga penggerak mesin tarikan. Karena itu mereka yang dulu pernah bekerja di tempat ini, dipekerjakan kembali. Tak heran, rata-rata pekerjanya berusia 50 tahun lebih.
Dan akhirnya pertengahan 2003 lalu, pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi dengan merek Mi Garuda dengan produksi rata-rata sehari mencapai 2 ton. Perkilogramnya dijual dengan harga 4500 rupiah.
Jika berhitung, keuntungan bersih yang diperoleh pengelola hanya berkisar 8 persen perkilonya. Namun bukan keuntungan semata yang dicari.
Amanat mulia sang kakek untuk menghidupi warga Dusun Bendo, menjadi alasan utama pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi.(Idh)
Selama ini, menurut dia mi lethek sering ikut pameran kuliner di berbagai kota di antaranya di Jakarta. "Saat pameran di Jakarta, pembeli mi ini cukup banyak dari kalangan anak muda hingga orang tua," katanya.
Ia mengatakan disebut mi lethek karena warnanya kusam dan kurang menarik. Warna mi lethek tidak seperti mi pada umumnya, karena dibuat dengan bahan baku yang berbeda dengan mi umumnya.
"'Lethek merupakan bahasa Jawa yang artinya kusam, kotor, dan kurang menarik," katanya. Bahan baku untuk membuat mi lethek berupa tepung tapioka yang diolah secara manual, dan tidak menggunakan pewarna kimia serta zat pengawet.
Menurut dia, rasa mi ini juga khas, berbeda dengan rasa mi pada umumnya. "Hanya dibuat dengan rasa pedas berupa mie goreng, dan dilengkapi sambal goreng," katanya. Cara penyajiannya, kata Nurul, masih tradisional dan sederhana. "Ketika dimakan, mi ini kenyal, dan ukuran mi sedikit lebih besar dibandingkan dengan mi pada umumnya," katanya.
Selama mengikuti pameran, menurut dia beberapa pengunjung ingin belajar cara membuat dan memasak mi ini. Ia menyebutkan harga mi lethek Rp 5.000 per porsi. "Selama pameran ini terjual rata-rata 100 porsi per hari," katanya.
Sidik Rizal - dari berbagai sumber
Reporter : Ninok Hariyani
Cameraman : Heri gemita
indosiar.com, Bantul - Suara derit kayu saling bergesek, sesekali ditingkah suara lenguhan sapi, nyaris setiap hari terdengar dari sebuah bangunan pabrik, di tepi Sungai Progo, yang melintasi Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Yogyakarta.
Di pabrik mi tradisional inilah, puluhan warga Dusun Bendo, sebagian telah lanjut usia, bekerja sebagai pembuat mi tradisional merek Garuda, yang lebih akrab disebut dengan Mi Lethek.
Pabrik mi yang berdiri sekitar tahun 1940-an tersebut, kini dikelola oleh sang cucu, Yasir Ferry Ismatadra. Kondisi pabrik sampai saat ini, tak jauh beda seperti ketika pertama kali didirikan.Semua peralatan yang digunakan masih serba tradisional peninggalan sang kakek, dengan tenaga manusia dan hewan sebagai penggeraknya.
Seperti alat penggiling tepung berupa batu silinder seberat 1 ton, ditarik dengan menggunakan tenaga sapi. Berkarung-karung tepung digiling setiap hari, dan secara bergantian 2 ekor sapi disiapkan untuk menarik batu silinder ini. Adonan tepung ini lalu di masukkan ke dalam oven yang masih menggunakan bahan bakar kayu.
Peninggalan lain yang sampai sekarang masih digunakan adalah alat pencetak mi atau mesin press. Para pekerja di pabrik ini menyebutnya dengan 'tarikan". disinilah keunikan alat press ini. Hampir seluruhnya terbuat dari kayu tepeng dan membutuhkan sedikitnya 8 tenaga manusia untuk menggerakkannya. Masing-masing mendapat pembagian tugas yang jelas.
Ada yang bertugas sebagai penginjak balok kayu berdiameter 40 cm, disebut munyuk karena gerakannya yang mirip seekor monyet berayun.
Ada gerakan yang disebut nengahin, bandil dan nyamber. Mereka yang bertugas menarik kayu disebut metit. Seluruh gerakan ini harus dilakukan serempak.
Sedang adonan tepung, dimasukkan ke dalam jebung atau lumpang yang sudah dipasang saringan di bagian bawahnya. Dengan cara seperti inilah adonan dicetak menjadi mi. Mi yang tercetak ini, warnanya putih keruh. Karena itu disebut mi lethek, yang bagi orang Jawa Tengah, lethek berarti kotor atau kusam.
Namun rasa mie lethek memang tak sesuai namanya. Bukan hanya karena rasa mi yang khas, tetapi juga proses pembuatannya. Sedang adonan tepung, dimasukkan ke dalam jebung atau lumpang yang sudah dipasang saringan di bagian bawahnya. Dengan cara seperti inilah adonan dicetak menjadi mi. Mi yang tercetak ini, warnanya putih keruh. Karena itu disebut mi lethek, yang bagi orang Jawa Tengah, lethek berarti kotor atau kusam.
Konon, pabrik yang ketika berdiri menggunakan izin HO Revolusi ini, dulu begitu terkenal. Dan mi lethek punya tempat tersendiri di hati konsumennya sampai saat ini.
Pabrik yang mempekerjakan sekitar 40 orang tenaga manusia ini, sempat berhenti beroperasi dari tahun 1983 hingga pertengahan 2003 karena tak ada yang mengelola. Selama itu, warga yang dulu menjadi pekerja di pabrik ini beralih menjadi penambang pasir dan batu di Kali Progo.
Seiring dengan menipisnya pasir dan batu, warga kemudian meminta keluarga Umar Bisyir Nahdi, sang pendiri pabrik, untuk mengoperasikannya kembali.
Awalnya Fery sempat bingung, bagaimana cara mengoperasionalkan kembali pabrik ini, mengingat seluruh peralatannya masih serba tradisional. Atas inisiatif warga pula, yang akhirnya mencari para pekerja dan pemasarannya.Agak sulit mencari tenaga kerja terutama tenaga penggerak mesin tarikan. Karena itu mereka yang dulu pernah bekerja di tempat ini, dipekerjakan kembali. Tak heran, rata-rata pekerjanya berusia 50 tahun lebih.
Dan akhirnya pertengahan 2003 lalu, pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi dengan merek Mi Garuda dengan produksi rata-rata sehari mencapai 2 ton. Perkilogramnya dijual dengan harga 4500 rupiah.
Jika berhitung, keuntungan bersih yang diperoleh pengelola hanya berkisar 8 persen perkilonya. Namun bukan keuntungan semata yang dicari.
Amanat mulia sang kakek untuk menghidupi warga Dusun Bendo, menjadi alasan utama pabrik mi tradisional ini kembali beroperasi.(Idh)
Selama ini, menurut dia mi lethek sering ikut pameran kuliner di berbagai kota di antaranya di Jakarta. "Saat pameran di Jakarta, pembeli mi ini cukup banyak dari kalangan anak muda hingga orang tua," katanya.
Ia mengatakan disebut mi lethek karena warnanya kusam dan kurang menarik. Warna mi lethek tidak seperti mi pada umumnya, karena dibuat dengan bahan baku yang berbeda dengan mi umumnya.
"'Lethek merupakan bahasa Jawa yang artinya kusam, kotor, dan kurang menarik," katanya. Bahan baku untuk membuat mi lethek berupa tepung tapioka yang diolah secara manual, dan tidak menggunakan pewarna kimia serta zat pengawet.
Menurut dia, rasa mi ini juga khas, berbeda dengan rasa mi pada umumnya. "Hanya dibuat dengan rasa pedas berupa mie goreng, dan dilengkapi sambal goreng," katanya. Cara penyajiannya, kata Nurul, masih tradisional dan sederhana. "Ketika dimakan, mi ini kenyal, dan ukuran mi sedikit lebih besar dibandingkan dengan mi pada umumnya," katanya.
Selama mengikuti pameran, menurut dia beberapa pengunjung ingin belajar cara membuat dan memasak mi ini. Ia menyebutkan harga mi lethek Rp 5.000 per porsi. "Selama pameran ini terjual rata-rata 100 porsi per hari," katanya.
Sidik Rizal - dari berbagai sumber
إرسال تعليق